Tulisan ini merupakan Makalah mengenai Moralitas Bantuan yang dibuat dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Kode Etik Konseling yang diampu oleh Bapak Drs. H. Abdullah, M.Si.
"MORALITAS BANTUAN"
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Moralitas
bantuan merupakan bantuan yang mempunyai batasan-batasan sifat atau perbuatan
yang layak dikatakan baik atau buruk dari konselor kepada klien dalam
menyelesaikan suatu problema. Moralitas bantuan diberikan kepada klien sebelum konselor mampu memperhatikan
aspek keyakinan agama dalam konseling, temperamen dan karakter, dan keyakinan
agama dalam struktur kepribadian. Apabila aspek tersebut tidak diperhatikan
dengan baik maka proses konseling tidak akan berjalan dengan baik bahkan dapat
menimbulkan kerugian.
Terkait keyakinan agama dalam konseling,
konselor tidak boleh memberikan keyakinan dan nilai-nilai keagamaannya kepada pihak lain sekaligus mempengaruhinya. Karena itu
seorang konselor tidak memanfaatkan proses interaksi dengan klien. Pada aspek
temperamen dan karakter, konselor benar-benar harus memahami temperamen dan karakter klien yang dihadapinya, karena pada dasarnya temperamen dan
karakter seseorang berbeda-beda,
sehingga dalam pemberian bantuan pun
harus berdasarkan temperamen dan karakter masing-masing. Sedangkan pada aspek keyakinan agama dalam
struktur kepribadian, konselor harus mengetahui apakah klien sudah menggunakan
struktur kepribadian tersebut
atau justru sebaliknya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan moralitas?
2.
Apa saja bagian-bagian moralitas bantuan?
3.
Bagaimana pengaruh aspek keyakinan agama dalam moralitas
bantuan?
4.
Bagaimana pengaruh aspek tempramen dan karakter dalam
moralitas bantuan?
5.
Mengapa keyakinan agama dalam struktur kepribadian pada
moralitas bantuan itu diperlukan?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian moralitas.
2.
Untuk mengetahui bagian-bagian moralitas bantuan.
3.
Untuk mengetahui pentingnya keyakinan agama dalam
moralitas bantuan.
4.
Untuk mengetahui pengaruh temperamen dan karakter dalam
moralitas bantuan.
5. Untuk mengetahui
alasan diperlukannya keyakinan agama dalam struktur kepribadian pada moralitas
bantuan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Moralitas Bantuan
Istilah moral
berasal dari bahasa
Latin mores
yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Yang dimaksud moral adalah segala sesuatu yang sesuai dengan ide-ide
yang umum diterima tentang tindakan manusia yang baik dan wajar.[1]
Istilah moral dapat disimpulkan bahwa artinya sama dengan etik dalam pengertian
nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam suatu masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya.[2]
Moralitas adalah sikap hati orang yang terugkap dalam
tindakan lahiriah (mengingat bahwa tindakan merupakan ungkapan sepenuhnya dari
sikap hati). Moralitas ada apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia
sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari untung.
Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya
moralitaslah yang bernilai secara moral.[3]
Moralitas bantuan dalam proses konseling terjadi ketika
konselor mampu bersikap baik dan sadar akan tindakan yang diperbuatnya, dalam
artian segala tindakan berupa nasehat dan tingkah laku yang deiberikannya
kepada klien selalu berpegangan pada aturan atau adat istiadat yang ada.
Ketika klien tidak mampu melakukan proses konseling yang
seperti itu, maka konselor tersebut dapat dikatakan melanggar kode etik
konseling yang telah ditetapkan. Ketika hal itu terjadi, klien pun tidak akan
merasa nyaman dan cenderung merasa kecewa atas pelayanan yang diberikan oleh
konselor pada proses konseling tersebut.
B.
Bagian-Bagian Moralitas Bantuan
Moralitas
bantuan terbagi menjadi dari tiga bagian, sebagai berikut.
1.
Keyakinan Agama
Landasan religius bahwa seorang konselor harus mempunyai
pemahaman agama, nilai-nilai agama yang kuat yaitu agar dalam memberikan
konseling pada klien, konselor selalu berdasar
pada pemahaman agama yang dianutnya.
Pada dasarnya seorang konselor dalam memberikan bantuan
dituntut harus dapat mengetahui nilai agama, namun konselor perlu menyadari
bahwa peranannya tidak sama dengan petugas keagamaan yang berkewajiban
memberikan keyakinan dan nilai-nilai keagamaannya kepada pihak lain dan
sekaligus mempengaruhinya. Karena itu seorang konselor tidak
mudah untuk memafaatkan berinteraksi dengan klien.[4] Maksudnya
adalah konselor tidak mudah terpengaruh oleh setiap perkataan kliennya, namun
konselor harus mempunyai prinsip agama yang kuat agar dapat memberi arahan yang
baik kepada klien.
Kaitannya dengan kode etik konseling itu sendiri, ketika
konselor memang tidak mampu untuk memecahkan masalah yang dimiliki klien, maka
konselor bisa melakukan alih tangan, agar nantinya konselor yang memang tidak
mampu menuntaskan masalah klien tersebut tidak asal memberikan bantuan, tanpa
disertai dengan landasan yang jelas.
Karena pada dasarnya, selalu ada keterlibatan antara
agama, nilai, dan keyakinan konselor dalam proses konseling yang harus selalu
sesuai dengan kode etik konseling yang telah ditetapkan dan dipahami oleh
setiap konselor pada umumnya. Akan berakibat fatal apabila konselor tidak
benar-benar memahami etika profesional yang dimilikinya.
Dengan demikian keterlibatan agama, nilai, dan keyakinan
konselor dalam konseling dapat dibenarkan secara teoritik, tetapi dalam
pelaksanaannya harus melihat etika profesional yang memberi tuntutan cara kerja
konselor sekaligus melindungi hak-hak pribadi klien.[5]
2.
Temperamen dan Karakter
a.
Temperamen
Dalam buku karangan Diane E Papalia, dkk. menyatakan
bahwa temperamen berfungsi sebagai penentu karakteristik seseorang, cara
biologis untuk mendekati dan bereaksi terhadap orang dan situasi.[6] Jadi
karakter seseorang itu tidak semuanya bersifat negatif, temperamen itu
dilakukan sesuai situasi. Tergantung seperti apa stituasi atau kondisi yang
pada saat itu dialaminya. Namun, pada dasarnya temperamen manusia itu sendiri
memiliki dimensi emosional yang
berbeda dengan emosi seperti rasa takut, tertarik, dan bosan. Temperamen relatif konsisten dan menetap pada diri manusia. Temperamen manusia terbagi menjadi empat jenis, yaitu:[7]
a)
Sanguinis
Ditandai dengan
sifat: hangat, meluap-luap, lincah, bersemangat dan pribadi yang menyenangkan. Pada dasarnya mau menerima. Pengaruh/ kejadian luar dengan gampang masuk ke
pikiran dan perasaan, yang membangkitkan respons yang meledak-ledak. Perasaan
lebih berperan dari pada pikiran refleksif dalam membentuk keputusan. Orang sanguinis
sangat ramah kepada orang lain, sehingga dia biasanya dianggap seorang yang
sangat ekstrovert.
b)
Koleris
Seorang koleris tampil hangat, serba
cepat, aktif, praktis, berkemauan keras, sanggup mencukupi keperluannya
sendiri, dan sangat independen. Dia cenderung tegas dan berpendirian keras, dengan
gampang dapat membuat keputusan bagi dirinya dan bagi orang lain. Seperti
seorang sanguinis, seorang koleris adalah seorang
ekstrovert, walau tidak seekstrovertnya seorang sanguinis. Seorang koleris hidup dengan aktif.
Dia tidak butuh digerakkan dari luar, malah mempengaruhi lingkungannya dengan
gagasan-gagasannya, rencana, tujuan, dan ambisi-ambisinya yang tak pernah surut.
c)
Melankolis
Si melankolis
adalah seorang yang paling kaya diantara semua temperamen. Dia seorang
analisis, suka berkorban, bertipe perfeksionis dengan sifat emosi yang sangat
sensitif. Tidak seorang pun yang dapat menikmati keindahan karya seni melebihi
seorang melankolis. Sebenarnya dia mudah menjadi introvert,
tetapi ketika perasaannya lebih dominan, dia masuk ke dalam bermacam-macam
keadaan jiwa. Kadang-kadang mengangkatnya pada kegembiraan yang tinggi yang
membuatnya bertindak lebih ekstrovert.
Akan tetapi pada saat lain dia akan murung dan depressi, dan selama periode ini
dia menarik diri (withdrawn), dan bisa menjadi seorang yang begitu
antagonistis (bersifat bermusuhan).
d)
Phlegmatis
Si phlegmatis
adalah seorang yang hidupnya tenang, gampangan, tak pernah merasa terganggu
dengan suatu titik didih yang sedemikian tinggi sehingga dia hampir tak pernah
marah. Dia adalah seorang dengan tipe yang mudah bergaul, dan paling
menyenangkan di antara semua temperamen. Phlegmatis berkaitan dengan apa
yang dipikirkan oleh Hippocrates mengenai cairan dalam badan yang menghasilkan
yang tenang, dingin, pelan,
temperamen yang memiliki keseimbangan yang baik.Baginya hidup adalah suatu
kegembiraan, dan kadang menjauh dari hal-hal yang tidak menyenangkan. Dia begitu tenang dan agak diam,
sehingga tak pernah kelihatan terhasut, bagaimana pun keadaan sekitarnya.
b.
Karakter
Selanjutnya mengenai karakteristik, Muchlas Samani dalam
bukunya menjelaskan bahwa karakter dimaknai sebagai cara berfikir dan
berperilaku yang khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.[8] Individu
yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap
mempertanggung jawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat
dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan
yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tatakarma,
budaya, adat istiadat, dan estetika.
Karena karakter adalah perilaku yang tampak
dalam kehidupan manusia
sehari-hari, baik dalam bersikap maupun dalam
bertindak. Konselor tidak
dapat semaunya menentukan karakter kliennya itu harus seperti apa, namun
konselor harus mampu memahami berbagai karakter kliennya sebagai selayaknya
manusia biasa yang memang tidak luput dari dosa dan kekhilafan. Konselor yang
baik adalah konselor yang mampu menerima dan melayani kliennya dengan baik,
menjunjung tinggi toleransi, tentunya dengan tetap menjaga kode etik konseling
yang telah ditetapkan.
3.
Keyakinan Agama dalam Struktur Kepribadian
Dinyatakan
bahwa manusia merupakan makhluk Allah yang terdiri dari dua dimensi, yaitu
dimensi jasmani dan dimensi rohani. Kedua dimensi yang dimiliki manusia
mendapatkan perhatian yang sama. Segi jasmani memiliki tuntutan-tuntutan sendiri
yang perlu dipenuhi. Demikian halnya dengan dimensi rohani juga memiliki
tuntutan tersendiri yang juga harus dipenuhi agar manusia dapat hidup dengan
baik dan selamat di dunia dan akhiratnya.[9]
Hal tersebut menunjukan bahwa kepribadian
seseorang membutuhkan suatu keyakinan dalam beragama. Oleh sebab itu, seorang
konselor mengarahkan kliennya yang sedang mengalami masalah agar mereka kembali
pada sang penciptanya, agar mereka tidak terjerumus pada hal yang tidak
diinginkan. Namun konselor perlu menyadari bahwa peranannya tidak sama dengan
petugas keagamaan yang berkewajiban memberikan keyakinan dan nilai-nilai
keagamaannya kepada pihak lain dan sekaligus mempengaruhinya. Karena itu
seorang konselor tidak mudah untuk memanfaatkan berinteraksi dengan klien. Sigmund Freud merumukan sistem kepribadian
menjadi tiga sistem. Ketiga sistem itu dinamainya id, ego, dan super
ego.[10]
1.
Id (Das Es)
Sebagai suatu sistem id mempunyai fungsi
menunaikan prinsip kehidupan asli manusia berupa penyaluaran dorongan naluriyah.
Dengan kata lain id mengemban prinsip kesenangan (pleasure principle),
yang tujuannya untuk membebaskan manusia dari ketegangan dorongan naluri
dasar: makan, minum, seks, dan sebagainya.
2.
Ego (Das Es)
Ego
merupakan sistem yang berfungsi menyalurkan dorongan id ke keadaan yang
nyata. Freud menanamkan misi yang diemban oleh ego sebagai prinsip kenyataan (objective/reality
principe). Segala bentuk dorongan naluri dasar yang bersal dari id hanya
dapat direalisasikan dalam bentuk nyata melalui bantuan ego yang juga
megandung prinsip kesadaran.
3.
Super Ego (Das Uber Ich)
Sebagai suatu sistem yang memiliki unsur molar dan
keadilan, maka sebagian besar super ego mewakili alam ideal. Tujuan super
ego adalah membawa individu kearah kesempurnaan sesuai dengan pertimbangan
keadilan dan moral. Ia merupakan kode modal seseorang dan berfungsi pula
sebagai pengawas tindakan yang dilakukan oleh ego. Jika tindakan itu
sesuai dengan pertimbangan moral dan keadilan, maka ego mendapat
ganjaran berupa rasa puas atau senang. Sebaliknya jika bertentangan, maka ego
menerima hukuman berupa rasa gelisah dan cemas. Super ego mempunyai dua
anak sistem, yaitu ideal ego dan hati nurani.
Dalam diri orang yang memiliki jiwa yang sehat ketiga
sistem itu bekerja dalam suatu susunan yang harmonis. Segala bentuk tujuan dan
segala gerak-geriknya selalu memenuhi keperluan dan keinginan manusia yang
pokok. Sebaliknya, kalau ketiga sistem itu bekerja secara bertentangan satu
sama lainnya, maka orang tersebut dinamai sebagai orang yang tak dapat
menyesuakan diri. Ia menjadi tidak puas dengan diri dan lingkungannya. Dengan
kata lain, efisiensi orang tersebut menjadi berkurang atau tidak sama sekali.
BAB
III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Moralitas bantuan merupakan bantuan yang mempunyai
batasan-batasan sifat atau perbuatan yang layak dikatakan baik atau buruk dari
konselor kepada klien dalam menyelesaikan suatu problema. Moralitas bantuan terbagi
menjadi tiga bagian yaitu keyakinan agama dalam konseling maksudnya keyakinan
agama yang dimiliki oleh klien, konselor tidak boleh mengubah ataupun memberi
keyakinan yang dimiliki konselor; temperamen yaitu sebagai karakteristik
seseorang cara biologis untuk mendekati dan bereaksi terhadap orang dan situasi
dan karakter maksudnya gejala karakteristik daripada sifat emosi individu
yang faktornya berasal dari keturunan
ataupun sebagai cara berfikir dan berprilaku yang khas setiap individu untuk
hidup dan berkerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan
negara.
Di dalam temperamen manusia atau sifat emosi individu
dapat dibagi menjadi empat yaitu sanguinis, koleris, melankolis, phlegmatis;
keyakinan agama dalam struktur kepribadian yang terbagi menjadi tiga yaitu id
adalah keinginan atau dorongan naluriah yang sudah ada sejak lahir dan tempat
timbulnya insting; ego adalah yang mengendalikan, mengontrol atau
menjalankan id. Ia bertindak sebagai penengah antara
insting dengan dunia di sekelilingnya atau dunia nyata; super ego adalah suatu sistem yang memiliki
unsur moral dan keadilan.
B.
Saran
Konselor yang baik adalah konselor yang mampu memahami
berbagai perbedaan yang ada pada diri kliennya, bersikap toleransi ketika
menyelesaikan berbagai masalah dan memberikan solusi, tentunya dengan tetap
menjaga kode etik yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Mitchell, Maurice B. 1968. Encylopedia of Britania, Vol. VIII. Chicago:
William Benton Publisher.
Jalaluddin. 2015. Psikologi Agama. Jakarta:
Rajawali Pers.
Latipun. 2003. Psikologi Konseling
(Edisi Ketiga). Malang: UMM Press.
Panuju, Panut dan Ida Umami. 1999. Psikologi
Remaja. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Papalia, Diane E., dkk. 2008. Human Development.
Jakarta: Kencana.
Prawira, Purwa Atmaja. 2013. Psikologi Kepribadian. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Samani, Muchlas. 2013. Pendidikan
Karakter. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Suseno, Frans Magnis. 1987. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. Daftar Kritik dan Saran Mahasiswa
1. Perwakilan Kelompok I
a. Nama
Asmul Fauzi (27)
b. Kritik dan Saran
ü
Perbaiki penulisan kata, lebih teliti lagi;
ü
Perbaiki pengertian kata;
ü
Sub judul halaman 5 poin 2 memaki angka, slanjutnya tidak
memakai angka, koreksi kembali;
ü
Pada halaman 7 dan 8 catatan kaki ada angka 41
(lanjutan dari catatan kaki bagian halaman tetapi terlalu menjorok).
2. Perwakilan kelompok III
a. Nama
Nur Inayah (25)
b. Kritik dan Saran
ü
Perhatikan mengenai penulisan sub judul;
ü
Keistiqomahan menulis sub judul antara miring
atau tidaknya.
3. Perwakilan Kelompok IV
a. Nama
Ria Wahidatun Ni’mah (04)
b. Kritik dan Saran
ü
Perhatikan kembali kaidah penulisan catatan
kaki;
ü
Pada halaman 9, sub bab mengenai ego, paragraf baru seharusnya
menjorok.
4. Perwakilan Kelompok V
a. Nama
Adisty Putri Angga Dewi (24)
b. Kritik dan Saran
ü
Pada bagian cover, judul tambah “makalah”;
ü
Diksi: penulisan kehadirat tidak perlu memaka spasi;
ü
Perhatikan kembali mengenai penulisan
titimangsa dalam dalam kata pengantar;
ü
Koreksi kembali diksi yang ada pada pendahuluan
mengenai tujun penulisan;
ü
Pelajari lagi kaidah penulisan catatan kaki;
ü
Lebih teliti dan berhati-hati lagi ketika
mengetik, jangan terburu-buru.
5. Perwakilan Kelompok VI
a. Nama
Hayatul Khairul Rahmat ( 11)
b. Kritik dan Saran
ü
Pada halaman depan/ cover, di bawah
judul makalah ditambah kalimat: untuk memenuhi tugas makalah; penempatan nama
dosen di bawah kelompok; Kurang kata program studi dan Yogyakarta;
ü
Pada kata pengantar (paragraf pertama),
penulisan mata kuliah seharusnya tidak kapital;
ü
Pada daftar isi, Bab I dan seterusnya,
perhatikan mengenai tabulasi antar sub judul;
ü
Pada Bab II, Penomoran halaman 1 di bawah
selanjutnya di atas;
ü
Diksi: “temperamen” (bukan tempramen), “lahiriah”
(bukan lahiriyah), “Bagian-Bagian” (karena kata ulang penuh), “Bahwasannya”
(bahasa lama, cukup dengan kata bahwa), perhatikan kembali pemilihan kata pada
Bab I (tujuan penulisan);
ü
Paragraf tidak boleh terdiri dari satu atau
dua kalimat;
ü
Penulisan bahasa asing dimiringkan (melankolis,
id, ego, dll.)
ü
Tidak perlu ada tanda kutip dalam paragraf ;
ü
Pada halaman 8, penulisan id dimiringkan,
sedangkan penulisan ego tidak perlu dimiringkn;
ü
Perhatikan kembali penulisan angka dalam
paragraf, seharusnya ditulis “tiga” bukan “3”;
ü
Perhatikan kaidah penulisan catatan kaki dan daftar
pustaka.
B. Daftar Pertanyaan Mahasiswa
1. Perwakilan Kelompok VI
a. Penanya
M. Agung Pratama (10)
b. Pertanyaan
Apa hubungan antara karakter dan daya ingat?
c. Jawaban
Daya ingat adalah kemampuan individu untuk menyimpan,
memproses dan memunculkan kembali pengalaman, data, informasi yang telah
didapatkan pada masa lalu untuk masa yang akan datang dengan mempertimbangkan
situasi dan kondisinya sendiri. Kaitannya dengan daya ingat seseorang adalah,
ketika orang tersebut memiliki daya ingat yang tinggi maka karakternya pun
dapat terihat lebih jelas, karena orang tersebut dapat dengan cepat memproses
daya ingat yang dimilikinya tersebut, begitupun sebaiknya.
2. Perwakilan Kelompok IV
a. Penanya
Meidiyani Oktaviani (33)
b. Pertanyaan
Apa saja perbedaan dari karakter dan kepribadian?
c. Jawaban
Ketika
kepribadian seseorang dilekatkan pada norma moral, pada penilaian baik dan
buruk, maka orang tersebut sedang membahas tentang karakter. Dengan kata lain,
karakter adalah perilaku seseorang (yang relatif permanen) ketika berinteraksi
dengan lingkungan yang dilandasi dengan pengetahuan tentang moral (Naftalia,
2006). 'Bagaimana seseorang mempertanggungjawabkan hidupnya pada Tuhannya,
itulah karakter. Sedangkan kepribadian adalah sejumlah karakteristik sifat yang
muncul dalam perilaku tanpa adanya penilaian moral. Kepribadian dan karakter
seseorang adalah hasil interaksi antara diri orang itu, pengalaman hidup dan
lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, kepribadian bisa berubah. Sedangkan
karakter individu, bisa dibentuk. Maka agak aneh kalau ada orang yang
mengatakan bahwa dirinya tidak bisa berubah kepribadiannya dan minta orang lain
memahami dirinya. "Aku ini ya sudah seperti ini. Kalau mau berteman
denganku, ya harus menerima aku apa adanya".
3. Perwakilan Kelompok III
a. Penanya
Suandara Pratiwi (17)
b. Pertanyaan
Ketika tidur, seseorang seringkali mengigau. Kaitannya
tiga sistem kepribadian, peristiwa mengigaunya seseorang itu dikategorikan
kemana?
c. Jawaban
Karena mengigaunya seseorang itu berada di bawah alam
sadarnya, ada sebagian tokoh yang berpendapat bahwa mengigau dapat
dikategorikan kepada id, namun ada juga yang berpendapat bahwa mengigau
tidak termasuk pada ketiga sistem kepribadian tersebut. Tergantung dari sisi
mana kita memahami teori yang ada.
4. Perwakilan Kelompok II
a. Penanya
Vivi Rinardi (08)
b. Pertanyaan
Apa yang menyebabkan super ego berbeda, padahal id
dan ego sama?
c. Jawaban
Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara ketika sistem
kepribadian tersebut, namun ketiganya dapat saling mempengaruhi dan saling
mendukung satu sama lainnya. Id, ego, dan super ego merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam diri manusia.
5. Perwakilan Kelompok I
a. Penanya
Elfrida Windyasari (07)
b. Pertanyaan
Apa titik fokus dari super ego?
c. Jawaban
Titik fokus dari super ego terletak pada tujuan dari super ego sendiri, yaitu membawa individu
kearah kesempurnaan sesuai dengan pertimbangan keadilan dan moral, sehingga
tahu benar-salah, baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar