MAKALAH KODE ETIK KONSELING: MORALITAS BANTUAN


Tulisan ini merupakan Makalah mengenai Moralitas Bantuan yang dibuat dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Kode Etik Konseling yang diampu oleh Bapak Drs. H. Abdullah, M.Si.


"MORALITAS BANTUAN"



BAB I
PENDAHULUAN
   
A.    Latar Belakang
Moralitas bantuan merupakan bantuan yang mempunyai batasan-batasan sifat atau perbuatan yang layak dikatakan baik atau buruk dari konselor kepada klien dalam menyelesaikan suatu problema. Moralitas bantuan diberikan kepada klien sebelum konselor mampu memperhatikan aspek keyakinan agama dalam konseling, temperamen dan karakter, dan keyakinan agama dalam struktur kepribadian. Apabila aspek tersebut tidak diperhatikan dengan baik maka proses konseling tidak akan berjalan dengan baik bahkan dapat menimbulkan kerugian.
Terkait keyakinan agama dalam konseling, konselor tidak boleh memberikan keyakinan dan nilai-nilai keagamaannya kepada pihak lain sekaligus mempengaruhinya. Karena itu seorang konselor tidak memanfaatkan proses interaksi dengan klien. Pada aspek temperamen dan karakter, konselor benar-benar harus memahami temperamen dan karakter klien yang dihadapinya, karena pada dasarnya temperamen dan karakter seseorang berbeda-beda, sehingga dalam pemberian bantuan pun harus berdasarkan temperamen dan karakter masing-masing. Sedangkan pada aspek keyakinan agama dalam struktur kepribadian, konselor harus mengetahui apakah klien sudah menggunakan struktur kepribadian tersebut atau justru sebaliknya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan moralitas?
2.      Apa saja bagian-bagian moralitas bantuan?
3.      Bagaimana pengaruh aspek keyakinan agama dalam moralitas bantuan?
4.      Bagaimana pengaruh aspek tempramen dan karakter dalam moralitas bantuan?
5.      Mengapa keyakinan agama dalam struktur kepribadian pada moralitas bantuan itu diperlukan?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian moralitas.
2.      Untuk mengetahui bagian-bagian moralitas bantuan.
3.      Untuk mengetahui pentingnya keyakinan agama dalam moralitas bantuan.
4.      Untuk mengetahui pengaruh temperamen dan karakter dalam moralitas bantuan.
5.      Untuk mengetahui alasan diperlukannya keyakinan agama dalam struktur kepribadian pada moralitas bantuan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Moralitas Bantuan
Istilah moral berasal dari bahasa Latin mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Yang dimaksud moral adalah segala sesuatu yang sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia yang baik dan wajar.[1] Istilah moral dapat disimpulkan bahwa artinya sama dengan etik dalam pengertian nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam suatu masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya.[2]
Moralitas adalah sikap hati orang yang terugkap dalam tindakan lahiriah (mengingat bahwa tindakan merupakan ungkapan sepenuhnya dari sikap hati). Moralitas ada apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari untung. Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral.[3]
Moralitas bantuan dalam proses konseling terjadi ketika konselor mampu bersikap baik dan sadar akan tindakan yang diperbuatnya, dalam artian segala tindakan berupa nasehat dan tingkah laku yang deiberikannya kepada klien selalu berpegangan pada aturan atau adat istiadat yang ada.
Ketika klien tidak mampu melakukan proses konseling yang seperti itu, maka konselor tersebut dapat dikatakan melanggar kode etik konseling yang telah ditetapkan. Ketika hal itu terjadi, klien pun tidak akan merasa nyaman dan cenderung merasa kecewa atas pelayanan yang diberikan oleh konselor pada proses konseling tersebut.

B.     Bagian-Bagian Moralitas Bantuan
Moralitas bantuan terbagi menjadi dari tiga bagian, sebagai berikut.
1.      Keyakinan Agama
Landasan religius bahwa seorang konselor harus mempunyai pemahaman agama, nilai-nilai agama yang kuat yaitu agar dalam memberikan konseling pada klien, konselor selalu berdasar  pada pemahaman agama yang dianutnya.
Pada dasarnya seorang konselor dalam memberikan bantuan dituntut harus dapat mengetahui nilai agama, namun konselor perlu menyadari bahwa peranannya tidak sama dengan petugas keagamaan yang berkewajiban memberikan keyakinan dan nilai-nilai keagamaannya kepada pihak lain dan sekaligus mempengaruhinya. Karena itu seorang konselor tidak mudah untuk memafaatkan berinteraksi dengan klien.[4] Maksudnya adalah konselor tidak mudah terpengaruh oleh setiap perkataan kliennya, namun konselor harus mempunyai prinsip agama yang kuat agar dapat memberi arahan yang baik kepada klien.
Kaitannya dengan kode etik konseling itu sendiri, ketika konselor memang tidak mampu untuk memecahkan masalah yang dimiliki klien, maka konselor bisa melakukan alih tangan, agar nantinya konselor yang memang tidak mampu menuntaskan masalah klien tersebut tidak asal memberikan bantuan, tanpa disertai dengan landasan yang jelas.
Karena pada dasarnya, selalu ada keterlibatan antara agama, nilai, dan keyakinan konselor dalam proses konseling yang harus selalu sesuai dengan kode etik konseling yang telah ditetapkan dan dipahami oleh setiap konselor pada umumnya. Akan berakibat fatal apabila konselor tidak benar-benar memahami etika profesional yang dimilikinya.
Dengan demikian keterlibatan agama, nilai, dan keyakinan konselor dalam konseling dapat dibenarkan secara teoritik, tetapi dalam pelaksanaannya harus melihat etika profesional yang memberi tuntutan cara kerja konselor sekaligus melindungi hak-hak pribadi klien.[5]

2.      Temperamen dan Karakter
a.      Temperamen
Dalam buku karangan Diane E Papalia, dkk. menyatakan bahwa temperamen berfungsi sebagai penentu karakteristik seseorang, cara biologis untuk mendekati dan bereaksi terhadap orang dan situasi.[6] Jadi karakter seseorang itu tidak semuanya bersifat negatif, temperamen itu dilakukan sesuai situasi. Tergantung seperti apa stituasi atau kondisi yang pada saat itu dialaminya. Namun, pada dasarnya temperamen manusia itu sendiri memiliki dimensi emosional yang berbeda dengan emosi seperti rasa takut, tertarik, dan bosan. Temperamen relatif konsisten dan menetap pada diri manusia. Temperamen manusia terbagi menjadi empat jenis, yaitu:[7]
a)      Sanguinis
Ditandai dengan sifat: hangat, meluap-luap, lincah, bersemangat dan pribadi yang menyenangkan. Pada dasarnya mau menerima. Pengaruh/ kejadian luar dengan gampang masuk ke pikiran dan perasaan, yang membangkitkan respons yang meledak-ledak. Perasaan lebih berperan dari pada pikiran refleksif dalam membentuk keputusan. Orang sanguinis sangat ramah kepada orang lain, sehingga dia biasanya dianggap seorang yang sangat ekstrovert.

b)      Koleris
Seorang koleris tampil hangat, serba cepat, aktif, praktis, berkemauan keras, sanggup mencukupi keperluannya sendiri, dan sangat independen. Dia cenderung tegas dan berpendirian keras, dengan gampang dapat membuat keputusan bagi dirinya dan bagi orang lain. Seperti seorang sanguinis, seorang koleris adalah seorang ekstrovert, walau tidak seekstrovertnya seorang sanguinis. Seorang koleris hidup dengan aktif. Dia tidak butuh digerakkan dari luar, malah mempengaruhi lingkungannya dengan gagasan-gagasannya, rencana, tujuan, dan ambisi-ambisinya yang tak pernah surut.

c)      Melankolis
Si melankolis adalah seorang yang paling kaya diantara semua temperamen. Dia seorang analisis, suka berkorban, bertipe perfeksionis dengan sifat emosi yang sangat sensitif. Tidak seorang pun yang dapat menikmati keindahan karya seni melebihi seorang melankolis. Sebenarnya dia mudah menjadi introvert, tetapi ketika perasaannya lebih dominan, dia masuk ke dalam bermacam-macam keadaan jiwa. Kadang-kadang mengangkatnya pada kegembiraan yang tinggi yang membuatnya bertindak lebih ekstrovert. Akan tetapi pada saat lain dia akan murung dan depressi, dan selama periode ini dia menarik diri (withdrawn), dan bisa menjadi seorang yang begitu antagonistis (bersifat bermusuhan).

d)     Phlegmatis
Si phlegmatis adalah seorang yang hidupnya tenang, gampangan, tak pernah merasa terganggu dengan suatu titik didih yang sedemikian tinggi sehingga dia hampir tak pernah marah. Dia adalah seorang dengan tipe yang mudah bergaul, dan paling menyenangkan di antara semua temperamen. Phlegmatis berkaitan dengan apa yang dipikirkan oleh Hippocrates mengenai cairan dalam badan yang menghasilkan yang tenang, dingin, pelan, temperamen yang memiliki keseimbangan yang baik.Baginya hidup adalah suatu kegembiraan, dan kadang menjauh dari hal-hal yang tidak menyenangkan. Dia begitu tenang dan agak diam, sehingga tak pernah kelihatan terhasut, bagaimana pun keadaan sekitarnya.

b.      Karakter
Selanjutnya mengenai karakteristik, Muchlas Samani dalam bukunya menjelaskan bahwa karakter dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku yang khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.[8] Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tatakarma, budaya, adat istiadat, dan estetika.
Karena karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan manusia sehari-hari, baik dalam bersikap maupun dalam bertindak. Konselor tidak dapat semaunya menentukan karakter kliennya itu harus seperti apa, namun konselor harus mampu memahami berbagai karakter kliennya sebagai selayaknya manusia biasa yang memang tidak luput dari dosa dan kekhilafan. Konselor yang baik adalah konselor yang mampu menerima dan melayani kliennya dengan baik, menjunjung tinggi toleransi, tentunya dengan tetap menjaga kode etik konseling yang telah ditetapkan.

3.      Keyakinan Agama dalam Struktur Kepribadian
Dinyatakan bahwa manusia merupakan makhluk Allah yang terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi jasmani dan dimensi rohani. Kedua dimensi yang dimiliki manusia mendapatkan perhatian yang sama. Segi jasmani memiliki tuntutan-tuntutan sendiri yang perlu dipenuhi. Demikian halnya dengan dimensi rohani juga memiliki tuntutan tersendiri yang juga harus dipenuhi agar manusia dapat hidup dengan baik dan selamat di dunia dan akhiratnya.[9]
Hal tersebut menunjukan bahwa kepribadian seseorang membutuhkan suatu keyakinan dalam beragama. Oleh sebab itu, seorang konselor mengarahkan kliennya yang sedang mengalami masalah agar mereka kembali pada sang penciptanya, agar mereka tidak terjerumus pada hal yang tidak diinginkan. Namun konselor perlu menyadari bahwa peranannya tidak sama dengan petugas keagamaan yang berkewajiban memberikan keyakinan dan nilai-nilai keagamaannya kepada pihak lain dan sekaligus mempengaruhinya. Karena itu seorang konselor tidak mudah untuk memanfaatkan berinteraksi dengan klien. Sigmund Freud merumukan sistem kepribadian menjadi tiga sistem. Ketiga sistem itu dinamainya id, ego, dan super ego.[10]
1.      Id (Das Es)
Sebagai suatu sistem id mempunyai fungsi menunaikan prinsip kehidupan asli manusia berupa penyaluaran dorongan naluriyah. Dengan kata lain id mengemban prinsip kesenangan (pleasure principle), yang tujuannya untuk membebaskan manusia dari ketegangan dorongan naluri dasar: makan, minum, seks, dan sebagainya.

2.      Ego (Das Es)
Ego merupakan sistem yang berfungsi menyalurkan dorongan id ke keadaan yang nyata. Freud menanamkan misi yang diemban oleh ego sebagai prinsip kenyataan (objective/reality principe). Segala bentuk dorongan naluri dasar yang bersal dari id hanya dapat direalisasikan dalam bentuk nyata melalui bantuan ego yang juga megandung prinsip kesadaran.

3.      Super Ego (Das Uber Ich)
Sebagai suatu sistem yang memiliki unsur molar dan keadilan, maka sebagian besar super ego mewakili alam ideal. Tujuan super ego adalah membawa individu kearah kesempurnaan sesuai dengan pertimbangan keadilan dan moral. Ia merupakan kode modal seseorang dan berfungsi pula sebagai pengawas tindakan yang dilakukan oleh ego. Jika tindakan itu sesuai dengan pertimbangan moral dan keadilan, maka ego mendapat ganjaran berupa rasa puas atau senang. Sebaliknya jika bertentangan, maka ego menerima hukuman berupa rasa gelisah dan cemas. Super ego mempunyai dua anak sistem, yaitu ideal ego dan hati nurani.
Dalam diri orang yang memiliki jiwa yang sehat ketiga sistem itu bekerja dalam suatu susunan yang harmonis. Segala bentuk tujuan dan segala gerak-geriknya selalu memenuhi keperluan dan keinginan manusia yang pokok. Sebaliknya, kalau ketiga sistem itu bekerja secara bertentangan satu sama lainnya, maka orang tersebut dinamai sebagai orang yang tak dapat menyesuakan diri. Ia menjadi tidak puas dengan diri dan lingkungannya. Dengan kata lain, efisiensi orang tersebut menjadi berkurang atau tidak sama sekali.



BAB III
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
Moralitas bantuan merupakan bantuan yang mempunyai batasan-batasan sifat atau perbuatan yang layak dikatakan baik atau buruk dari konselor kepada klien dalam menyelesaikan suatu problema. Moralitas bantuan terbagi menjadi tiga bagian yaitu keyakinan agama dalam konseling maksudnya keyakinan agama yang dimiliki oleh klien, konselor tidak boleh mengubah ataupun memberi keyakinan yang dimiliki konselor; temperamen yaitu sebagai karakteristik seseorang cara biologis untuk mendekati dan bereaksi terhadap orang dan situasi dan karakter maksudnya gejala karakteristik daripada sifat emosi individu yang  faktornya berasal dari keturunan ataupun sebagai cara berfikir dan berprilaku yang khas setiap individu untuk hidup dan berkerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Di dalam temperamen manusia atau sifat emosi individu dapat dibagi menjadi empat yaitu sanguinis, koleris, melankolis, phlegmatis; keyakinan agama dalam struktur kepribadian yang terbagi menjadi tiga yaitu id adalah keinginan atau dorongan naluriah yang sudah ada sejak lahir dan tempat timbulnya insting; ego adalah yang mengendalikan, mengontrol atau menjalankan id. Ia bertindak sebagai penengah antara insting dengan dunia di sekelilingnya atau dunia nyata; super ego adalah suatu sistem yang memiliki unsur moral dan keadilan.

B.     Saran
Konselor yang baik adalah konselor yang mampu memahami berbagai perbedaan yang ada pada diri kliennya, bersikap toleransi ketika menyelesaikan berbagai masalah dan memberikan solusi, tentunya dengan tetap menjaga kode etik yang dimilikinya.



DAFTAR PUSTAKA

Mitchell, Maurice B. 1968.  Encylopedia of Britania, Vol. VIII. Chicago: William Benton Publisher.
Jalaluddin. 2015. Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali Pers.
Latipun. 2003. Psikologi Konseling (Edisi Ketiga). Malang: UMM Press.
Panuju, Panut dan Ida Umami. 1999. Psikologi Remaja. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Papalia, Diane E., dkk. 2008. Human Development. Jakarta: Kencana.
Prawira, Purwa Atmaja. 2013.  Psikologi Kepribadian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Samani, Muchlas. 2013. Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Suseno, Frans Magnis. 1987. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.



LAMPIRAN-LAMPIRAN

A.    Daftar Kritik dan Saran Mahasiswa
1.      Perwakilan Kelompok I
a.      Nama
Asmul Fauzi (27)
b.      Kritik dan Saran
ü  Perbaiki penulisan kata, lebih teliti lagi;
ü  Perbaiki pengertian kata;
ü  Sub judul halaman  5 poin 2 memaki angka, slanjutnya tidak memakai angka, koreksi kembali;
ü  Pada halaman 7 dan 8 catatan kaki ada angka 41 (lanjutan dari catatan kaki bagian halaman tetapi terlalu menjorok).

2.      Perwakilan kelompok III
a.      Nama
Nur Inayah (25)
b.      Kritik dan Saran
ü  Perhatikan mengenai penulisan sub judul;
ü  Keistiqomahan menulis sub judul antara miring atau tidaknya.

3.      Perwakilan Kelompok IV
a.      Nama
Ria Wahidatun  Ni’mah (04)
b.      Kritik dan Saran
ü  Perhatikan kembali kaidah penulisan catatan kaki;
ü  Pada halaman  9, sub bab mengenai ego, paragraf baru seharusnya menjorok.

4.      Perwakilan Kelompok V
a.      Nama
Adisty Putri Angga Dewi (24)
b.      Kritik dan Saran
ü  Pada bagian cover, judul tambah “makalah”;
ü  Diksi: penulisan kehadirat  tidak perlu memaka spasi;
ü  Perhatikan kembali mengenai penulisan titimangsa dalam dalam kata pengantar;
ü  Koreksi kembali diksi yang ada pada pendahuluan mengenai tujun penulisan;
ü  Pelajari lagi kaidah penulisan catatan kaki;
ü  Lebih teliti dan berhati-hati lagi ketika mengetik, jangan terburu-buru.

5.      Perwakilan Kelompok VI
a.      Nama
Hayatul Khairul Rahmat ( 11)
b.      Kritik dan Saran
ü  Pada halaman depan/ cover, di bawah judul makalah ditambah kalimat: untuk memenuhi tugas makalah; penempatan nama dosen di bawah kelompok; Kurang kata program studi dan Yogyakarta;
ü  Pada kata pengantar (paragraf pertama), penulisan mata kuliah seharusnya tidak kapital;
ü  Pada daftar isi, Bab I dan seterusnya, perhatikan mengenai tabulasi antar sub judul;
ü  Pada Bab II, Penomoran halaman 1 di bawah selanjutnya di atas;
ü  Diksi: “temperamen” (bukan tempramen), “lahiriah” (bukan lahiriyah), “Bagian-Bagian” (karena kata ulang penuh), “Bahwasannya” (bahasa lama, cukup dengan kata bahwa), perhatikan kembali pemilihan kata pada Bab I (tujuan penulisan);
ü  Paragraf tidak boleh terdiri dari satu atau dua kalimat;
ü  Penulisan bahasa asing dimiringkan (melankolis, id, ego, dll.)
ü  Tidak perlu ada tanda kutip dalam paragraf ;
ü  Pada halaman 8, penulisan id dimiringkan, sedangkan penulisan ego tidak perlu dimiringkn;
ü  Perhatikan kembali penulisan angka dalam paragraf, seharusnya ditulis “tiga” bukan “3”;
ü  Perhatikan kaidah penulisan catatan kaki dan daftar pustaka.



B.     Daftar Pertanyaan Mahasiswa
1.      Perwakilan Kelompok VI
a.      Penanya
M. Agung Pratama (10)
b.      Pertanyaan
Apa hubungan antara karakter dan daya ingat?
c.       Jawaban
Daya ingat adalah kemampuan individu untuk menyimpan, memproses dan memunculkan kembali pengalaman, data, informasi yang telah didapatkan pada masa lalu untuk masa yang akan datang dengan mempertimbangkan situasi dan kondisinya sendiri. Kaitannya dengan daya ingat seseorang adalah, ketika orang tersebut memiliki daya ingat yang tinggi maka karakternya pun dapat terihat lebih jelas, karena orang tersebut dapat dengan cepat memproses daya ingat yang dimilikinya tersebut, begitupun sebaiknya.

2.      Perwakilan Kelompok IV
a.      Penanya
Meidiyani Oktaviani (33)
b.      Pertanyaan
Apa saja perbedaan dari karakter dan kepribadian?
c.       Jawaban
Ketika kepribadian seseorang dilekatkan pada norma moral, pada penilaian baik dan buruk, maka orang tersebut sedang membahas tentang karakter. Dengan kata lain, karakter adalah perilaku seseorang (yang relatif permanen) ketika berinteraksi dengan lingkungan yang dilandasi dengan pengetahuan tentang moral (Naftalia, 2006). 'Bagaimana seseorang mempertanggungjawabkan hidupnya pada Tuhannya, itulah karakter. Sedangkan kepribadian adalah sejumlah karakteristik sifat yang muncul dalam perilaku tanpa adanya penilaian moral. Kepribadian dan karakter seseorang adalah hasil interaksi antara diri orang itu, pengalaman hidup dan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, kepribadian bisa berubah. Sedangkan karakter individu, bisa dibentuk. Maka agak aneh kalau ada orang yang mengatakan bahwa dirinya tidak bisa berubah kepribadiannya dan minta orang lain memahami dirinya. "Aku ini ya sudah seperti ini. Kalau mau berteman denganku, ya harus menerima aku apa adanya".

3.      Perwakilan Kelompok III
a.      Penanya
Suandara Pratiwi (17)
b.      Pertanyaan
Ketika tidur, seseorang seringkali mengigau. Kaitannya tiga sistem kepribadian, peristiwa mengigaunya seseorang itu dikategorikan kemana?
c.       Jawaban
Karena mengigaunya seseorang itu berada di bawah alam sadarnya, ada sebagian tokoh yang berpendapat bahwa mengigau dapat dikategorikan kepada id, namun ada juga yang berpendapat bahwa mengigau tidak termasuk pada ketiga sistem kepribadian tersebut. Tergantung dari sisi mana kita memahami teori yang ada.

4.      Perwakilan Kelompok II
a.      Penanya
Vivi Rinardi (08)
b.      Pertanyaan
Apa yang menyebabkan super ego berbeda, padahal id dan ego sama?
c.       Jawaban
Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara ketika sistem kepribadian tersebut, namun ketiganya dapat saling mempengaruhi dan saling mendukung satu sama lainnya. Id, ego, dan super ego merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam diri manusia.
5.      Perwakilan Kelompok I
a.      Penanya
Elfrida Windyasari (07)
b.      Pertanyaan
Apa titik fokus dari super ego?
c.       Jawaban
Titik fokus dari super ego terletak pada tujuan dari super ego sendiri, yaitu membawa individu kearah kesempurnaan sesuai dengan pertimbangan keadilan dan moral, sehingga tahu benar-salah, baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya.



[1] Panuju, Panut, Ida Umami. Psikologi Remaja, (Yogyakarta, PT Tiara Wacana 1999), hal. 139.
[2] Mitchell, Maurice B. Encylopedia of Britania, Vol. VIII, (Chicago: William Benton Publisher 1968), hal. 752.
[3] Suseno, Frans Magnis. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius 1987), hal. 58.
[4] Latipun. Psikologi Konseling (Edisi Ketiga), (Malang, UMM Press 2003), hal. 158-160.
[5] Latipun. Psikologi Konseling (Edisi Ketiga), (Malang, UMM Press 2003), hlm, 158-160.
[6] Papalia, Diane E. dkk. Human Development, (Kencana, Jakarta 2003),  hal. 268.
[7] Papalia, Diane E. dkk. Human Development, (Kencana, Jakarta 2003), hal. 268-269.
[8] Samani, Muchlas. Pendidikan Karakter, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya 2013), hal. 41.
[9] Prawira, Purwa Atmaja. Psikologi Kepribadian, (Yogyakarta, Ar-Ruzz Media 2013), hal. 327.
[10] Jalaluddin, Psikologi Agama. (Jakarta, Rajawali Pers 2015), hal. 183-184.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar