Kesaksian
Untuk Sahabat
(Ela
Nurmalasari)
Di
suatu senja menjelang akhir bulan di penghujung tahun 2016 itu, aku duduk
termenung di depan ruang 308. Tidak seperti biasanya, sore itu kami memutuskan
untuk berdiam diri sejenak sebelum meluncur ke basecamp, tempat kami
saling bertukar pikiran merencanakan masa depan. Kupandangi wajah sesosok
wanita di sampingku, nampaknya ada sepenggal kisah yang belum dapat kuungkap
darinya. Tentang kehidupan yang terkadang sulit untuk dimengerti, tentang
pilihan hidup yang begitu sulit pula untuk ditentukan. Keinginan atau
kebutuhankah sebenarnya?
Setelah
beberapa saat saling berdiam diri, saling berdampingan namun tiada suara sedikitpun
selain hembusan angin yang mulai menusuk ke dalam tulang kami berempat, aku pun
memberanikan diri untuk memulai pembicaraan. Ungkapan inilah yang terlontar
seketika dari mulutku, “Ma, kamu adalah orang yang selalau ada saat kita
punya masalah. Kamulah orang pertama yang selalu bertanya pada kita, ketika ada
salah seorang yang terlihat berberda dari biasanya. Roda kehidupan terus
berputar bukan?”. Namun sayang, dia hanya membalasku dengan kata-kata yang
seolah menunjukkan bahwa dirinya adalah sosok yang tegar dan tidak mempunyai
beban pikiran sedikitpun, “Apaan sih kalian ini, jangan ngeliatin aku kayak
gitu lah.. aku ngerti maksud kalian. Aku juga mempunyai harapan yang sama,
namun bukan lewat jalan ini. Namun yang pasti, aku akan tetap membuat paspor
dan pergi ke luar negeri bersama kalian, percayalah”.
Aku dan
kedua sahabatku memang sangat greget melihat sikapnya yang selalu
berusaha tegar dihadapan kami. Bersama Ammi dan Dara, aku pun berusaha untuk
terus mengungkap tentang permasalahan yang ada pada dirinya. Karena
bagaimanapun juga, Rahma tidak akan pernah bisa berlama-lama menyembunyikan
keresahan dalam hatinya. So, apa arti dari sebuah persahabatan jika
tidak ada keterbukaan dan kepercayaan satu sama lainnya?
Setelah
melalui perdebatan yang cukup hebat, dan suasana di sore itu pun terasa lebih
panas dari biasanya, kami pun berusaha menarik benang merah yang sebenarnya
masih sangat kusut. Go internasional adalah tujaun dan mimpi terbesar yang
dimiliki oleh komunitas kami, Center of Best Student. Bersama ketujuh sahabatku
yang diantaranya masih ada yang belum kusebutkan namanya, mengawali kisah
tentang perjuangan delapan orang anak manusia yang ingin “mengubah dunia”, atau
lebih tepatnya mengubah persepsi tentang mahasiswa BKI yang minim dalam
berbahasa asing, atau embel-embel lain tentang beberapa persepsi yang darinya
membuat kami cukup miris untuk bisa mempertahankan eksistensi kami. Namun over
all, melalui tangan-tangan mungil dari kedelapan anak manusia yang kata orang
tua kami “baru seumur jagung”, dengan perpondasikan tujuan yang sama, kami
bertekan akan membuktikan bahwa kami bisa menggenggam dunia dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai keislaman yang sudah menjadi prinsip utama kami. Khairunnaas
anfa’uhum linnaas.
Jika
dibandingan dengan ketujuh sahabatku yang lain, tak dapat dipungkiri bahwa
memang ruang gerakkulah yang paling terbatas. Bagaimana tidak, jika mereka bisa
bebas pulang pergi ke kampus kapanpun mereka mau, bisa meluangkan waktu untuk
berdiskusi dan mengikuti berbagai organisasi yang ada di kampus putih ini, atau
sekedar nongkrong di angkringan setelah berkeliling menikmati indahnya malam di
berbagai sudut kota Jogja yang istimewa ini. Yah, inilah aku! Aku selalu
menyadari akan batasan waktu yang kumiliki, meskipun seringkali keluh kesah
menghampiri ketika aku mulai merasa lelah menanti sebuah ketidakpastian.
Jarak
antara Krapyak menuju ke kampus putih tempatku menimba ilmu pengetahuan,
memakan bangku kuliah sudah bukan lagi sebuah hambatan bagiku. Bagaimanapun
caranya, dengan apapun itu tunggangan yang aku naiki, yang terpenting aku bisa
menginjakkan kakiku disana, masalah bagaimana nanti aku pulang, ya gimana nanti
saja. Begitulah seterusnya, cukup lama juga aku bersahabat dengan
ketidakpastian. Bahkan, sekarang aku sudah hampir mengakhiri semester tigaku,
atau lebih tepatnya, menjelang Ujian Akhir Semester Ganjil Tahun 2016/2017.
“Kesempatan
tidak akan datang dua kali, La! Selagi ada kesempatan, berangkatlah. Jangan
sia-siakan kesempatanmu ini. Toh orang-orang terdekatmu juga mendukungmu, orang
tuamu pun sudah memberikan izin untukmu, apalagi yang kau tunggu?”. Dimana ada kemauan yang kuat, disana pasti ada jalan. Tak
ada yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi dikemudian hari selain Allah, kun
fayakuun. Maha Besar KuasaMu, Ya Allah! Benar sahabatku, tak ada lagi
sebenarnya yang harus kutunggu, karena soal biaya, meskipun belum pasti, namun
aku selalu yakin bahwa bersama kemauan yang kuat diserati usaha yang kuat pula,
rezeki pasti menghampiri.
Namun
ada satu hal yang kutunggu, atau lebih tepatnya kepastian dari seseorang untuk
ikut serta mengikuti kegiatan ini. “Studi Komparative dan International
Conference” yang pertama kali diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi
bersama International Student Week merupakan agenda rutin tahunan dari program
mereka. Kali ini, negara yang akan dituju adalah Malaysia dan Thailand. Malaysia,
mengigatkanku akan sebuah foto menara kembar petronas, “Twin Tower” yang mulai usang
karena terkena sinar matahari dari sudut kamarnya itu masih nampak jelas
tertempel di dinding, tepat di atas meja belajarnya. Aku tahu akan mimpimu,
sahabatku! Menginjakkan kaki tepat di kedua bangunan itu adalah salah satu
mimpi terbersarmu. Dan pada kenyataannya kini, justru akulah yang diberikan
kesempatan oleh Sang Kreator untuk mendahuluimu pergi ke Negeri Sembilan itu.
Sungguh, besar harapanku dapat melangkahkan kakiku bersamamu, juga keenam
sahabat kita yang lainnya untuk membawa nama Center of Best Student kita Go
Internasioal.
Setelah
melalui berbagai pertimbangan dan perdebatan yang cukup hebat bersamanya,
dengan adanya tambahan dukungan yang selalu dia berikan untukku, aku semakin
mantap untuk mengikuti kegiatan tersebut. Bismillah, kesaksian mata ini untukmu
sahabatku. Aku yakin, tidak lama lagi kau akan menapakkan kaki di tempat yang
tertera dalam foto itu, bahkan negara-negara lainnya. Percayalah, sahabatku!
Terima kasih, keceriaan dan seulas senyuman yang selalu kau lukiskan dari
wajahmu adalah bagian dari kekuatanku.
Dari
kedelapan orang anggota Center of Best Sudent, hanya aku, Ammi, Dara, Rafida,
dan Rahmat yang diberikan kesempatan lebih dulu untuk pergi ke luar negeri
dikarenakan ada beberapa hal yang harus mereka pertimbangkan, terutama soal
biaya. Buat Fauzi dan Eli, tetap semangat karena masih banyak kegiatan yang
bisa kalian lakukan di luar kegiatan ini. Dan buatmu, tetap semangat juga
Rahma! Kesaksian mata ini untukmu, sahabatku.
Jika
melihat soal biaya, sebenarnya masih jauh sekali tabungan yang kumiliki untuk
memenuhi biaya kegiatan tersebut. Sudah terbayangkan, biaya pokok sebesar
Rp.3.550.000,- bukanlah nominal yang sedikit. Belum lagi embel-embel yang ada
di luar itu, termasuk pembuatan paspor. Lalu bagaimana? Setelah memantapkan
diri untuk ikut, apa langkahmu selanjutnya La? Tentu saja, aku akan
bergerak. Membuat proposal pengajuan dana adalah bagian terpenting sebagai
salah satu langkah untuk menggalang dana, dan persoalan mengenai kemana
proposal itu akan disebar pun menjadi pembahasan yang cukup membingungkan
bagiku yang notabennya baru pertama kali menyebarkan proposal permohonan dana
khusus untuk kegiatan yang akan kulakukan. Akhirnya, aku memutuskan untuk
pulang ke kampung halamanku dan memberanikan diri menghadap Bupati Kabupaten
Pangandaran dengan membawa map kuning yang berisikan proposal promohonan dana
untuk kegiatan tersebut. Harapannya, ada respon positif, dan “cair”.
Sebelum
untuk pulang ke rumah, bersama Ammi, Dara dan Rafida, pada tanggal 28 Desember
2016, aku memutuskan untuk membuat paspor. Pagi itu, tepat setelah melaksanakan
sholat subuh, kami sudah tiba di Kantor Imigrasi Yogyakarta. Kami begitu panik,
karena sesampainya disana antrian sudah panjang. Untungnya, kami sudah
menitipkan antrian kepada teman kami, Rahmat Laba dari Prodi Psikologi yang
juga merupakan salah satu dari peserta kegiatan Study Komparative dan
International Conference ini.
Mulai dari proses pembutan paspor, kami memang
dilatih untuk bersabar dalam menanti. Semoga saja penantian ini mendapatkan
hasil yang pasti, bukan lagi sebuah ketidakpastian yang seringkali kudapatkan.
Kantor imigrasi mulai melayani para pemohon pembuat paspor tepat pada pukul 08.00
WIB, dengan kata lain kami harus menunggu selama 2 sampai 3 jam, itupun diluar
proses antrian. Saat itu kami mendapatkan nomor antrian 90an ke atas. Setelah
menunggu dalam waktu yang cukup lama, satu persatu dari kami pun memasuki ruangan
untuk melakukan proses registrasi. Semua persyaratan yang telah kami siapkan,
mulai dari KTP, Kartu Keluarga atau ijazah pendidikan terakhir, lengkap dengan
fotokopiannya pun dicek oleh petugas. Menjelang waktu dzuhur, akhrirnya tahap
demi tahap permohonan pengajuan paspor pun telah selesai. Tindakan selanjutnya
kami harus mentransfer biaya pembuatan paspor, dan lebih jauhnya menyebar
proposal yang telah dibuat.
Di
hari tenang menjelang Ujian Akhir Semester, aku memutuskan untuk pulang ke
rumah. Dengan berbekal dua buah map yang berisikan dua buah proposal yang siap
diajukan ke Pemerintah Kabupaten Pangandaran, aku niatkan kepulanganku ke rumah
bukan untuk liburan, melainkan untuk mencari bekal hidup. Sempat terbesit rasa
pesimis dalam diri, karena memang cukup sulit proses yang harus aku lalui untuk
bisa tembus dan menghadap langsung ke Bupati Pangandaran. Belum sempat aku
bertegur sapa secara penuh dengan keluargaku di rumah, setelah tujuan utamaku
untuk menghadap Bupati telaksana, aku pun memutuskan untuk kembali ke tempat perantauanku, Jogja. Dan
tentunya siap untuk menghadapi tantangan selanjutnya, baiklah pelaut tangguh,
angkat jangkarmu dan kembalilah berlayar mengarungi lautan lepas. Deburan
ombakmu telah siap menemani petualanganmu!
Lika-liku
Ujian Akhir Semester telah dilalui, liburan semester selama satu bulan telah
tiba, satu per satu nilai dari setiap mata kuliah pun telah keluar, hingga tak
terasa kami mulai disibukkan kembali dengan proses herregistrasi, dan tentunya
proses pengisian Kartu Rencana Studi yang selalu terasa menegangkan. “So,
Welcome Semester 4!”, semoga kedepannya bisa lebih baik lagi. Dua
konsentrasi yaitu pendidikan dan masyarakat pun ada dihadapan kami, tinggal
pilih, mau ambil yang mana? Semua pasti ada jalannya.
Belum
lama kami menghela nafas di masa-masa liburan, akhirnya kami pun harus kembali
bersiap melalui proses perkuliahan. Diawali dengan kuliah umum dan kontrak
belajar pada setiap pertemuan pertama di semua mata kuliah, hingga akhirnya
pada minggu keempat pun kami harus bersiap meninggalkan proses perkuliahan
sejenak, dan menghirup udara Malaysia dan Thailand, tiada lain untuk mengikuti
serangkaian kegiatan Study Komparative dan International Conference.
Harapan
tidak selalu sebanding dengan kenyataan, karena memang pada dasarnya manusia
hanya bisa menyusun rencana, Allah Sang Kreatorlah yang menentukannya.
Sepertihalnya dalam proses penyusunan proposal yang telah dibuat semenarik dan
selengkap mungkin, dengan harapan dapat diacc secara langsung oleh para pemberi
dana, namun pada akhirnya ketika proses pengambilan kembali proposal hasilnya
pun nihil, mungkin dari sanalah Allah menguji hambanya agar naiklah derajat
keimanannya. Malam Senin, tepatnya H-3 pemberangkatanku, usai mengikuti latihan
khataman, aku pun memberanikan diri menghadap pengurus harian pondok
untuk meminta izin. Sempat keluar kata-kata yang membuatku down dan
hampir putus asa, “Tidak boleh ada kegiatan yang diikuti oleh santri, jika
kegiatan itu tidak ada kaitannya dengan peningkatan IPK!”. Yaa Allah,
cobaan apa lagi ini? Laahaulaa walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil
‘adziim. Berilah aku kekuatan, izinkan aku untuk bisa belajar hingga ke
seluruh penjuru dunia, tiada lagi alasanku selain itu, hanya belajar dan terus
mencari ridhoMu, serta melihat senyum kebahagiaan yang terpancar dari kedua
orang tuaku.
Dengan
berbekal kebutuhan yang secukupnya, akhirnya hari yang telah kami nantikan pun
tiba. Tepat pada pukul 03.00 WIB aku terbangun dari tidur dan bersiap menuju
perantauan selanjutnya. Aku, Ammi, Dara dan Rafida berangkat menuju Bandara
Internasional Adi Sutjipto dengan menggunakan taxi. Kami tiba tepat pada
pukul 05.15, dan kembali menunggu serangkaian proses check in.
Dikarenakan alas an tertentu, kami pun baru bisa take off pada pukul
09.00 WIB. Air Asia adalah pesawat pertama yang kunaiki, karena memang baru
kali ini aku pergi mengudara. Bismillahi majreeha wamursaaha.
Selama
di perjalanan, aku kembali teringat satu nama. Rahma, apa kabar disana?
sebentar lagi aku akan menginjakkan kaki kecilku ini di tempat yang kau
dambakan, Kuala Lumpur, Malaysia! Melalui kedua mata ini, akan kusaksikan
kokohnya menara kembar Twin Tower yang berdiri tegak di hadapanku. Dan
sekarang, aku benar-benar telah menyaksikannya.
Selama
enam hari mulai dari tanggal 2-7 Maret 2017 kami berkelana di negara tetangga
yang merupakan bagian dari negara di ASEAN, Malaysia dan Thailand. Banyak tempat-tempat
di rundown acara yang kami kunjungi, mulai dari Masjid Putra Jaya, KLCC (Twin
Tower), USIM University, Dataran Merdeka, dan Kedutaan Besar Republik Inonesia
(KBRI) di Malaysia, hingga berkeliling di sekitar Hatyai, Pasar ASEAN, Songklah
University, Samila Beach, Sleeping Budha, hingga berburu oleh-oleh khas
Thailand di Pasar Terapung Klonghae, Thailand Selatan. Tidak hanya sampai
disana, kami masih mempunyai satu hari terakhir di Malaysia sebelum kepulangan
kami ke tanah air tercinta. Kami kembali berkeliling di sekitar Rumah Merah,
tempat bersejarah dii Melaka, Malaysia.
Tak
ingin rasanya kami meninggalkan tempat yang telah kami kunjungi ini. Terlebih
ketika kami telah menikmati indahnya suasana malam di Negeri Sembilan.
Pandangan mataku kembali tertuju pada satu gedung di ujung sana, apakah itu?
Tentu saja, tiada lagi selain Menara Kembar, Twin Tower yang semakin terpancar
indah dengan kilauan lampu yang masih mampu kusaksikan dari jarak yang cukup
jauh, tepat di sekitar SOGO. Kami menghabiskan malam terakhir disini untuk
berbelanja makanan khas, yaitu cokelat. Ada satu tempat yang katanya cukup
sering dikunjungi, yaitu Mydin. Memang benar, harga yang tersedia disana
lumayan miring. Tak ketinggalan, kami juga mengujungi Pasar Seni dengan
menggunakan kereta cepat MRT. Hingga akhirnya kami pun kembali terlelap di
dalam bis dalam perjalanan menuju Bandara. Secepat itukah? Yah, beginilah
hidup. Alwaqtu Kassyaif, waktu ibarat pedang!
Fangtasiruu
Fil-ard.. semoga perjalanan ini bukanlah
perjalanan terakhirku. Dengan izin Allah, sebelum habis masa pasporku aku akan
kembali menginjakkan kaki di berbagai negara, bahkan hingga mampu memenuhi
panggilan Allah, menuju Baitullah. Pada akhirnya, bukan hanya Twin Tower yang
mampu kusksikan kemegahannya, namun kan kusaksikan pula Pyramid dan Sphinx di
Mesir, serta Ka’bah di Mekah. InsyaAllahu
aamiin yaa robbal aalamiin.. Pelaut
tangguh itu tidak terlahir dari lautan yang tenang!
Special for All Member of "Center of Best Student" Yogyakarta :
Rahmanisa
Kasmi
Suandara Pratiwi
Rafida
Eli Yulianti
Hayatul Khairul Rahmat
Asmul Fauzi
Dan kau yang selalu memberi support dari kejauhan..
Nurfadilah Mustari, sukses selalu disana.. :)
Lihat, sekarang aku bisa menyaksikan langsung pramugari,
seperti yang kau kirimkan saat itu.. :D
Dan kau yang selalu memberi support dari kejauhan..
Nurfadilah Mustari, sukses selalu disana.. :)
Lihat, sekarang aku bisa menyaksikan langsung pramugari,
seperti yang kau kirimkan saat itu.. :D
BISMILLAH.. CBS PASTI BISA GO INTERNATIONAL!
Luar biasa.. Terharu banget aku bacanya.. Lanjutkan perjuangan kalian teman", aku selalu bangga sama kalian.. Dan akhirnya kamu bisa liat langsung gimana cara pramugari peragain tata cara keselematan tanpa di video.in lagi.. Hahah bangga banget aku.. Miss You
BalasHapusMenguras tenaga dan asa ketika memahami kata demi kata dan kalimat yg terurai, semoga kisah petualangan kali ini selalu bisa untuk menginspirasi.. butuh ketenangan dalam memahami tiap bait nya 😵. Semoga jalan kebaikan selalu menyertai aamiin
BalasHapus