Kartiniku: Aku Mendengarmu Lewat Tulisan


Kartiniku: Aku Mendengarmu Lewat Tulisan
(Ela Nurmalasari)


Sumber: hildalight.defiantart.com

“Wah, Ela tinggal di pondok ya? Saya ingin tinggal di pondok juga, ingin belajar membaca alQur’an sama Bahasa Arab. Tapi sedih sekali karena tidak ada pondok yang mau nerima orang tuli seperti saya di Jogja. Kapan-kapan saya mau main ke pondok yaa..”
Niat baik tidak selalu berjalan dengan mulus. Dia adalah Anisa Kusuma Wardani, seorang wanita luar biasa yang memiliki segudang prestasi. Dia adalah teman berjuangku untuk mempertahankan beasiswa yang diberikan oleh negara, agar kami dapat menggapai asa menuju cita-cita, mengentaskan kemisikan dan menjadikannya bukan lagi penghalang untuk terus menorehkan prestasi, melalui Bidikmisi. Dia adalah Kartiniku.

Dokumen Pribadi: Foto Bersama Anisa pada Softskill Bidikmisi

Saya adalah seorang wanita yang pernah bermimpi untuk melanjutkan kuliah di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Saya adalah seorang wanita yang bercita-cita menjadi seseorang yang mampu mengabdikan diri di Sekolah Luar Biasa (SLB). Saya adalah seorang wanita penikmat senja sebelum malam tiba dengan segala aktivitas yang harus dijalani. Sebagai seorang wanita yang tinggal di “penjara suci”, saya selalu ingat akan sebuah ungkapan yang mendobrak semangat dan membuka pikiran saya, “Ragaku boleh terpenjara, namun tidak untuk pikiranku” (R.A. Kartini). Meskipun hanya bisa menjadi penikmat senja sebelum malam tiba, atau lebih tepatnya saya tidak bisa bebas keluar malam, namun saya meyakini bahwa saya adalah pelaut tangguh yang mampu berjuang mengarungi badai di lautan lepas.
“Mah, saya mau lanjut kuliah di Jogja. Kalau saya ngambil jurusan Pendidikan Luar Biasa boleh ga mah?”, ucapku kepada seorang wanita yang saya panggil “Mamah”. Lalu mamah menjawab dengan sedikit ragu, “Iya, mamah bakal dukung kalau kamu mau lanjut kuliah, mamah bersyukur sekali. Tapi apa kamu yakin mau ngambil jurusan itu? Jadi guru SLB kan? Mamah gak setuju kalo kamu ngurusin anak-anak yang cacat.”
Cacat, atau pernah populer dengan istilah “penyandang cacat” merupakan sebuah sebutan yang membuat telinga saya sakit. Bahkan bukan hanya telinga, hati saya juga ikut merasakan sakit. Terlebih ketika saya sudah mengetahui ada istilah yang lebih halus dan tepat untuk mereka yang mempunyai kemampuan berbeda dibanding kita. Difabel (differently abled people) merupakan bentuk penghalusan dari istilah yang sebelumnya ada di masyarakat. Adapun istilah-istilah yang sebelumnya yang pernah saya dengar, pernah saya ketahui bahkan pernah saya gunakan yaitu, penyandang cacat, anak berkebutuhan khusus, dan disable.
“Kamu sekarang masih jadi relawan difabel di Pusat Layanan Difabel ya? Ko mau sih jadi relawan? Kan capek. Ga dibayar pula.”

Dokumen Pribadi: International Conference INDOEDUC4ALL
dalam Rangka Hari Difabel International

Menjadi relawan atau bahasa kerennya volunteer adalah sebuah pilihan yang menjadi sebuah kebutuhan bagi saya. Karena sejatinya, suatu saat saya juga akan menjadi seorang difabel dikala saya sedang tidak mampu mendengar nasehat dari orang lain, saat saya tidak mampu melihat kebaikan yang dilakukan oleh orang di sekitar saya, disaat kata-kata yang keluar dari mulut saya hanya menjadi duri yang menyakitkan orang lain, disaat tangan saya tidak mampu memberi, dan disaat kaki saya tidak mampu melangkah menuju jalan kebaikan.
Jalan menuju kebaikan seringkali dihadapkan dengan berbagai cobaan. Termasuk jalan bagi sahabat-sahabat difabel yang pernah saya dampingi. Buat sahabatku Anisa, melalui goresan pena ini ingin kusampaikan bahwa kau adalah Kartiniku yang tak henti terus menginspirasi. Maafkan diri ini yang hanya mampu mendengar kata dan memahamimu lewat tulisan. Kau telah mengajarkanku arti dari perjuangan yang sesungguhnya dikala kau menceritakan tujuan muliamu mengikuti berbagai lomba. “Anisa kalau dapet uang hasil lomba biasanya ditabung ya? Emangnya mau buat apa”¸ tanyaku. Lalu dia pun menjawab, “Saya tabung buat naik haji orang tua ke Mekah”. Seketika air mata pun mengalir deras di pipi saya.
Saya bukanlah seorang relawan sempurna. Jangankan untuk menjadi seorang penerjemah bahasa isyarat saat mendampingi dia kuliah, memahami bahasa isyarat dasar pun saya masih sangat kelabakan. Saya juga bukan seorang notaker yang baik dalam mendampingi kuliah, karena saya sering mengantuk ketika mendampingi sahabat difabel saya kuliah di kelas. Namun yang perlu sahabat-sahabat relawan ketahui, berikanlah senyuman terbaikmu untuk mereka, sahabat-sahabat difabel yang selalu mendoakan kebaikan yang kita berikan. Biarlah Allah SWT yang membalas semuanya. Karena menjadi relawan bukan persoalan tentang take and give, tetapi give and give! Selamat Hari Kartini.. Jangan lelah, Kartiniku di seluruh penjuru Indonesia.



Yogyakarta, 21 April 2018
Dengan Cinta

Kartini dari Sudut Kota Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar