BKI: Bukan Tentang Aku, Kamu, atau Mereka
(Ela Nurmalasari)
Pendidikan dan masyarakat. Kedua konsentrasi yang ada di
prodi BKI ini takkan ada habisnya untuk diperbincangkan. Ibarat membincang tentang
stereotype bagi anak IPA yang terkenal rajin, berpakaian rapi, dan
tertib aturan. Berbeda halnya dengan anak IPS yang jarang masuk kelas, berpakaian
tidak sesuai aturan, bahkan seringkali hanya beralaskan sandal jepit,
bergerombol, dan sering membuat kericuhan baik di dalam maupun di luar kelas.
Masih setujukah dengan pandangan tersebut? Dapatkah konsentrasi pendidikan dan
masyarakat yang ada di prodi BKI disamakan dengan persepsi tentang anak IPA dan
IPS? Tentu ada yang masih mempertahankan argumen tersebut, dan ada pula yang
menentangnya.
Namun, disini saya tidak akan membahas lebih lanjut
mengenai pandangan orang tentang anak IPA dan anak IPS yang sudah digeneralisasikan
oleh hampir semua kalangan, terutama orang yang masih awam. Well, kita
harus cerdas dalam mencerna segala macam informasi yang datang menghampiri dari
segala arah. Termasuk pilihan untuk menyampaikan kembali informasi tersebut kepada
orang lain atau membiarakan informasi tersebut cukup untuk menjadi konsumsi
pribadi atau kelompok tertentu saja. Karena saat ini kita tidak hanya berperan
sebagai konsumen. Akan tetapi sudah sebagai konsumen, produsen, sekaligus
distributor informasi. Tidak selalu anak yang masuk IPA adalah anak yang pintar
secara akademik, dan tidak selalu anak IPS yang dipandang sebelah mata.
BKI 2015, angkatan yang disebut-sebut sebagai penghujung
angkatan yang dipecah oleh adanya konsentrasi. Dipecah oleh konsentrasi? Ya,
dipecah secara struktural maupun secara kultural. Saya tidak membenarkan adanya
stereotype terhadap anak IPA dan anak IPS sebagaimana disebutkan di
atas, apalagi dikaitkan dengan konsentrasi di BKI. Diantaranya, “anak
pendidikan” yang terkenal sebagai kaum akademisi, dan “anak masyarakat” yang
disebut-sebut sebagai kaum organisatoris yang menjunjung tinggi demokratis.
Benarkah?
Secara struktural, konsentrasi masyarakat dan pendidikan
telah diberlakukan sejak tahun 2007, yaitu mengacu kepada kurikulum tahun 2007.
Begitu pula kurikulim 2013 yang tetap memberlakukan adanya dua konsentrasi.
Sampai adanya kurikulim terbaru tahun 2016, yaitu KKNI yang tidak menerapkan
adanya konsentrasi. Jika ada yang bilang kalau mahasiswa adalah korban dari
kurikulum yang selalu berubah, setujukah anda? Baiklah, semua bebas
berpendapat. Namun, sampaikanlah pendapat tersebut secara elegant dan
bijaksana. Baik kurikulum konsentrasi pendidikan maupun konsentrasi masyarakat
telah didesign sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan di masa
mendatang. Mahasiswa yang menyukai dunia pendidikan dan ingin membantu
menyelesaikan permasalahan di dalamnya, maka ia bisa memilih konsentrasi
pendidikan. Sedangkan mahasiswa yang ingin menyelesaikan permasalahan di
masyarakat, maka ia bisa memilih konsentrasi masyarakat.
Sedangkan secara kultural, mahasiswa cenderung nyaman
dengan kelompok-kelompok kecil baik yang masih dalam satu konsentrasi maupun lintas
konsentrasi. Kelompok-kelompok tersebut muncul karena adanya kesamaan. Mulai
dari kesamaan hobi, asal daerah, gaya belajar, kelompok diskusi atau
presentasi, bahkan karena NIM yang saling berdekatan. Well, kenyamanan
itu urusan hati. Sekalipun banyak orang yang berusaha untuk memisahkan
kelompok-kelompok kecil itu, tentu tidak akan mudah. Biarlah ia menjadi pelangi
yang indah karena memiliki warna yang berbeda, namun tetap saling berdampingan.
Perbedaan itu rahmat.
Namun demikian, perbandingan jumlah mahasiwa di kelas
pendidikan dan masyarakat dari tahun ke tahun selalu menunjukkan 2:1 yang
menunjukkan bahwa lebih banyak mahasiswa yang berminat untuk mengambil
konsentrasi pendidikan dengan alasan ingin menjadi seorang Guru BK. Ya, Guru
BK. Sekalipun fakta dilapangan tidak semudah itu untuk diraih. Kalian tentu
tahu sendiri alasannya bukan? Adanya konsentrasi merupakan bagian dari tuntutan
kehidupan yang harus djalani. Tentu saja, tuntutan untuk memilih. Dengan
berbagai pertimbangan, mulai dari yang berasal dari dorongan hati nurani,
permintaan orang tua, sampai yang ikut-ikutan teman dekatnya. Apapun alasannya,
itulah pilihan. Tentu saja dengan berbagai resiko yang ada di dalamnya.
Dalam rangka mempererat kekeluargaan, setiap pengurus
angkatan mempunyai cara tersendiri untuk menjaga hubungan yang baik di
angkatannya masing-masing. Salah satunya yaitu rihlah yang diselenggarakan oleh
BKI angkatan 2015. Dengan tema “Mempererat Kekeluargaan dan Memperdalam
Keilmuan dengan Pengalaman Lapangan”, Rahmanisa sebagai ketua rihlah beserta
seluruh jajaran kepanitiaan telah berhasil menyelenggarakan acara yang begitu
luar biasa. Rihlah ini diikuti oleh 50 orang yang terdiri dari 46 mahasiswa dan
4 dosen pendamping dari prodi BKI. Keempat dosen kece yang mendampingi
perjalalan kami adalah Bapak A. Said Hasan Basri, S.Psi., M.Si. (Kaprodi BKI),
Bapak Nailul Falah S.Ag.M.Si. (Sekprodi BKI), Bapak Dr. Irsyadunnas, dan Bapak
Moh. Khoerul Anwar, S.Pd., M.Pd. Terima kasih untuk panitia yang telah berjuang
dan para dosen yang setia mendampingi.
Rihlah yang dilaksanakan pada tanggal 7-9 Februari 2018
ini dikemas dalam sebuah kegiatan field research and field trip yang
bernuansa religi. Masjid Turen sebagai tempat wisata religi pertama yang kami
kunjungi ini menyajikan hasil arsitektur yang megah dengan perpaduan
warna-warna alam yang menyejukkan hati setiap orang yang melihatnya.
Dilanjutkan dengan kunjungan ilmiah ke Pondok Pesantren Rehbilitasi Mental
Az-Zainy yang tidak kalah menakjubkan ketika pertama kali dilihat. Bagaimana
tidak, banyak orang yang tidak menyangka bahwa pondok pesantren yang begitu
megah, bersih, dan rapih itu adalah tempat rehabilitasi bagi orang yang “sakit
mental”. Gus Zain sebagai pimpinan pondok pesantren telah berhasil menyulap
pondok pesantren rehabilitasi mental yang biasanya dipandang sebelah mata,
menjadi pondok pesantren yang mempunyai ribuan jama’ah yang biasanya akrab
disapa santri oleh beliau. Metode terapi dzikir dengan menggunakan lafaz hasbunallah
wanikmal wakil nikmal maula wanikmal wakil itu diijazahi langsung
oleh Gus Zain, melalui media air. Ilmu dan pengalaman yang kami dapatkan dari
kedua tempat wisata religi tersebut semoga menjadi berkah bagi kami. Aamiin.
Setelah menikmati wisata religi yang menenangkan hati, tibalah
saatnya untuk mempererat dan memperkuat kekeluargaan diantara kami, BKI 2015.
Tentu saja, melalui kegiatan yang dikemas dalam bentuk wisata yang
sesungguhnya. Tempat tujuan kami selanjutnya yaitu Jatim Park I. Pergolakan
batin, perbedaan pendapat sempat terjadi bersamaan dengan hujan yang turun
membasahi bumi. Langit pun menangis semakin kencang. Musyawarah dengan jalan
mufakat, itulah yang selalu dijunjung tinggi. Panitia bersama para dosen
pendamping ingin melihat kami bahagia dalam menjalani rihlah ini. Tidak ada
rotan, akar pun jadi. Tidak jadi ke Jatim Park I, kami pun sepakat untuk
menikmati wahana di Batu Night Spektakuler (BNS) dilanjutkan ke Alun-alun Kota Wisata
Batu, pusat oleh-oleh, dan pulang dengan selamat ke kota istimewa, Yogyakarta. Semester
6 sudah menanti!
Biarlah secara struktural kami dipecahkan oleh adanya
konsentrasi. Bahkan sebentar lagi akan dipecah secara berkelompok dengan adanya
KKN, PPL, bahkan terpecah secara individu, yaitu karena tuntutan skripsi. Namun
secara kultural, kuatnya tali kekeluargaan diantara kami tidak dengan mudah
dapat diputus begitu saja. Pupuk demi pupuk, siraman demi siraman yang rutin
diberikan menjadikan kekeluargaan kami semakin tumbuh subur. Semoga.
“Manfaatnya luar biasa sekali. Kekompakan, kebersamaan,
motivasi, dan pengalaman di luar kampus, dll. Ayo saving dari sekarang, biar
tidak terasa memberatkan”, ucap Pak Nailul Falah, S.Ag.,M.Si. Semoga pesan, kesan, sekaligus
rekomendasi dari beliau dapat menjadikan semangat bagi adik-adik angkatan 2016
dan 2017 untuk terus menjaga kekompakan dengan teman seangkatan maupun dengan
lintas angkatan. Karena BKI bukan tentang aku, kamu, atau mereka. BKI bukan
tentang konsentrasi pendidikan atau konsentrasi masyarakat. BKI bukan tentang
angkatan 2015, 2016, 2017 atau angkatan sebelum 2015 terdahulu maupun angkatan
setelah 2017 mendatang. Akan tetapi, BKI adalah KITA. Ya, tentu saja. Kita yang
selalu bersemi di hati para dosen, orang tua, masyarakat, konseli, keluarga,
dan anak-anak kita nanti. Salam BKI! Bersemi di hati.
(Yogyakarta, 10 Februari 2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar